Perbedaan Hipotermia, Frostbite dan Altitude Sickness Pendaki Wajib Baca!

oleh
oleh
Proses Evakuasi pendaki terkena Hipotermia via@goprkarkonosze

Hiportemia, frostbite dan altitude sickness adalah 3 hal yang berbahaya dalam pendakian. Mari kenali masing-masingnya.Masih banyak pendaki yang salah mengartikan hiportemia, frostbite dan altitude sickness.

Baca Juga: Pendaki Gunung Masa Kini Dipengaruhi Eksistensi di Media Sosial?

Hipotermia adalah saat suhu tubuh turun sampai di bawah 37 derajat Celcius (suhu tubuh normal manusia), karena kedinginan akibat cuaca seperti dari suhu, hujan dan angin . Pun sama dengan frostbite yang terjadi karena kedinginan, tapi ada bedanya. “Hipotermia itu menyerang suhu tubuh secara keseluruhan, tapi kalau frostbite itu hanya bagian tubuh tertentu khususnya yang terbuka dan kurang terlindungi seperti jari tangan dan kaki, hidung, kuping, dagu dan pipi,”

Frostbite adalah kondisi di mana jaringan tubuh membeku. Ketika membeku, pendaki yang terkena frostbite tidak akan merasakan apa-apa seolah tidak ada alarm peringatan dari tubuh. Makanya, harus proaktif mengecek keadaan tubuh secara teratur sebelum terlambat. Jika terkena frostbite, langkah yang harus dilakukan adalah segera menghangatkan bagian tubuh tersebut dengan air hangat yang bersuhu 40 derajat Celsius. Jangan terlalu panas airnya, karena justru dapat membuat luka semakin parah.

Baca Juga: Berapa Lama Sampah Terurai? Pendaki Wajib Baca !

“Frostbite biasanya terjadi saat pendakian di gunung-gunung yang suhunya mencapai minus belasan derajat Celcius. Di Indonesia kasus frostbite sangat jarang karena tidak begitu dingin. Mungkin kalau di Carstensz bisa terkena frostbite, karena teoritis ya sebab suhu di sana sangat dingin. “Hipotermia dapat menyebabkan frostbite. Tapi, terkena frostbite belum tentu hipotermia.

Sedangkan altitude sickness, adalah kondisi dimana tubuh pendaki kekurangan oksigen dan menerima tekanan udara yang hebat saat berada di ketinggian. Sama seperti hipotermia, altitude sickness dapat membuat seseorang meninggal dunia.

“Altitude sickness membuat gelembung paru-paru (alveolus) bocor. Hingga menyebabkan akumulasi cairan pada otak dan paru-paru (pulmonary edema dan cerebral edema), ringkasnya paru-paru dan otak terisi air dari bocornya gelembung paru-paru tersebut. “Kalau airnya sudah sampai otak, 40 persen itu meninggal. Kalau airnya di paru-paru, 25 persen itu meninggal.

Baca Juga: Tips Pendakian Aman Untuk Para Pemula

Gejala altitude sickness beberapa di antaranya seperti mual, tidak nafsu makan dan sakit kepala. Jika gejalanya sudah terlihat, maka sebaiknya dibawa turun sejauh 500 meter dari titik terakhirnya. Supaya tubuh bisa pelan-pelan dapat beradaptasi di ketinggiannya.”Mulai ketinggian 2.500 mdpl, itu bisa menimbulkan altitude sickness.

Namun hiportemia, frostbite dan altitude sickness dapat dihindari para pendaki gunung. Tentu, dengan perencanaan dan persiapan yang matang. Juga alangkah baiknya, para pendaki menambah wawasan mengenai pendakian gunung dan risiko-risikonya.

“Naik gunung itu baiknya harus pintar. Kita sudah pelajari dulu segala hal sebelum mendaki karena naik gunung itu bukan mau mencari sakit bahkan mati maka persiapan awal perihal safety firt serta pembekalan ilmu perihal pendakian harus kita pahami seksama agar pendakian kita menjadi fun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.