Melakukan aktifitas luar ruang seperti melakukan pendakian gunung kini menjadi hal yang lumprah pasalnya dahulu kala era tahun 2009 kebawah sajalah tidak usah jauh-jauh orang-orang yang melakukan munggah gunung bisa dilihat dengan jelas dan dapat dihitung dengan jari kita dibantu jari kaki ia 😀 . Namun belakangan dunia pendakian Indonesia khususnya menjadi bumming semenjak era tahun 2012 kesana mungkin karena pengaruh Film Bioskop? TV yang menyajikan film petualang? atau media sosial?
Dari perkembangan dunia pendakian di Indonesia memang tidak lepas dari pengaruh yang disebutkan diatas benar atau tidak ia? kalo tidak benar dibenarkan saja tapi lihat postingan rata-rata menjuru kesitu apalagi sosial media sharing vidio dan gambar 😀 kan pada extensinya lebih ke situ 😀 namun semua itu wajar adanya. Dibalik perkembangan dunia pariwisata khususnya minat wisata alam lebih spesifik pendakian memunculkan kemelut yang sungguh ironis yaitu sampah.
Tren pendakian gunung memang memberi dampak yang tidak baik terutama limbah dimana data menunjukan di tahun 2015 sekitar 2,5 ton sampah yang ada di beberapa gunung yang diangkut oleh sebuha komunitas bersih gunung yaitu Trasbag, sampah platik yang paling banyak ditemukan serta botol plastik, disamping dampak tidak bagus dari tren mendaki gunung disatu sisi antusias orang-orang khususnya anak muda dalam berwisata mendaki gunung memberikan sisi positif antara lain memberikan lapangan pekerjaan bagi warga di kaki Gunung Indonesia yaitu bisa membuka warung, memberikan jasa (Guide, menginap dll) dan juga memberikan devisa bagi Negara dari hasil retribusi mengurus Simaksi.
Baca Juga:Â Vidio Motor Trail Masuk Kawasan Camp Area Gunung Merbabu
Perlu sobat Gunung tahu bahwasanya untuk sampah sendiri yang dibuang oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab itu membutuhkan waktu yang tidak cepat untuk proses penguraian, bisa dilihat tabel dibawah ini:
No | Jenis Sampah | Masa Terurai |
1 | Styrofoam | Tidak Dapat terurai |
2 | Alumuniun | 80 -100 tahun |
3 | Kaleng Timah | 200 -400 tahun |
4 | Plastik Kertas(Botol Plastik, Tuppurware,dll) | 50-80 tahun |
5 | Baju/Kaos Kaki Nilon | 30-40 tahun |
6 | Sepatu Kulit | 25-43 tahun |
7 | Kantong Plastik | 10-20 tahun |
8 | Filter Rokok | 10 -12 Tahun |
9 | Kulit Jeruk | 6 Bulan |
10 | Kaint Katun | 1,5 Bulan |
11 | Kertas | 2,5 bulan |
Memang tren mendaki gunung memberikan dampak yang negatif dan positif alangkah baiknya dari diri kita (individual) mari sadar diri akan dampak buruknya sampah yang kau tinggalkan di gunung atau hal lain misalnya merusak ekosistem karena gunung adalah penumpang hidup manusia, tanpa gunung serta pepohonan yang menyelimuti kawasan gunung niscaya air bersih tak bisa kau nikmati.
Motivasi mendaki gunung memang kuat bagi para pemuda khususnya mungkin karena pengaruh teman, media sosial atau mau menunjukkan eksistensinya kemudian mengeshare ke berbagai jejaring sosial di jagad maya. Dahulu kala mendaki memang lekat dengan user pecinta alam pasalnya jika tidak suka banget jarang orang yang mendaki gunung kala itu maka dahulu bila kamu pernah naik gunung mungkin hanya bertemu dengan orang-orang itu saja ayoo benar atau tidak ngaku 😀 akan tetapi zama now memang beda semua orang bisa naik gunung alhasil menimbulkan polemik yang tidak sedikit dari masalah sampah, hilang, hingga meninggalnya seseorang di gunung.
Dibalik semua itu hanya satu yang tidak boleh membedaka antara pendaki masa dulu dan pendaki zama now yaitu jangan kau rusak gunung kamu harus sadar akan keseimbangan alam ini dengan cara tidak meninggalkan sampah yang kau bawa serta tidak merusak ekosistem gunung yang kau daki, dengan penerapan seperti ini semoga gunung Indoensia akan tetap lestari hingga bisa dinikmati sampai jutaan tahun mendatang oleh keturunan selanjutnya.
Perlu sobat Gunung tahu bahwasanya hutan di Indonesia terus mengalami penurunan dimana data KLHK menunjukkan ditahun 2017 luas hutan kita mencapai 125.922.474 hektare dan data di tahun 2015 128jt Ha. Dari jumlah ratusan juta hektar itu dibagi menjadi beberapa kelompok dari hutan produksi , Hutan Konservasi dan Hutan Lindung.
Response (1)